Selasa, 06 November 2007

Pura Gunung Raung sebagai Pasraman


Pura Gunung Raung ini agak lain daripada Pura Kahyangan Jagat pada umumnya. Pura ini menghadap ke timur, sehingga kalau kita sembahyang kita akan menghadap ke arah barat seperti halnya di Pura Luhur Ulu Watu. Keunikan yang lain adalah Pura Gunung Raung memiliki empat pintu masuk dari empat penjuru. Pintu masuk dari arah timur, utara dan selatan dibuat dari Candi Bentar dengan ukirannya. Sedangkan pintu dari arah barat hanya dengan pintu kecil saja. Apa makna ada empat pintu masuk ini belum ada sumber yang secara pasti menjelaskan.
Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.
Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang, balai kulkul dan gedong tempat busana. Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi, Pelinggih Ratu Pasek, Pelinggih Ratu Ngerurah, Balai Gong, Titi Gonggang, Balai Kulkul dari pohon Salagui, Balai Pegat, Palinggih Batara Sri dan Pelinggih Bale Agung. Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung.
Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit. Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ''nyarik'' dalam bahasa Bali artinya tahapan.
Pelinggih Ratu Rambut Sedhana. Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga.
Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.
Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti. Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
Selanjutnya ada Balai Pengeraos sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.
Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu, Gunung Batur, Gunung Sari, Gunung Agung, Penyawangan ke Campuan Ubud Padmasana dan ada juga Balai Pingit umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta. Suara genta sebagai pengantar upacara sebagai simbol Nada Brahman untuk mengantarkan bahwa getaran sabda Tuhan itu merasuk ke dalam lubuk hati nurani umat yang memuja.
Ke depan tentunya hal ini dapat saja dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan genta dengan cara melakukan pembahasan sebagai upaya kreasi sistem beragama Hindu untuk ke depan sepanjang untuk menajamkan kedalaman penerapan tattwa agama Hindu yang bersifat langgeng atau Sanatana Dharma.
Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.

Minggu, 04 November 2007

Pura Bukan Tempat Ber Politik


Adanya Pilkada di Gianyar bali yang akan diadakan pada bulan Januari 2008 tahun depan ini, banyak dimanfaatkan oleh beberapa "balon" (bakal calon) bupati Gianyar untuk melakukan kampanye terselubung ke beberapa desa-desa terpencil dibali, Dengan alasan medanapunialah..memberi bantuan ini, itu, dengan harapan agar nantinya dalam pemilihan pilkada dapat sukses menuju kursi bupati. Boleh-boleh saja lah kalau melakukan kampanye seperti itu, tapi harus lah di ingat bahwasanya dilakukan di luar tempat suci kita (Pura), jangan berkedok medanapunia di Pura, dilakukan penggalangan massa untuk mendukung calon tertentu, ingat Pura itu tempat suci bagi umat Hindu untuk bersembahyang, bukan tempat untuk menggalang massa.......apapun alasannya,

Jumat, 02 November 2007

Memahami Ajaran Agama Hindu

(oleh : Pinandita I Gusti Ngurah Made Suyadnya)

Agama Hindu yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para Maha Rsi adalah untuk menuntun umat manusia merealisasikan kebahagiaan hidup di dunia ini serta mewujudkan menunggalnya Atman dengan Paramaatma. Karena itu melalui agama dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapi demi terwujudnya kehidupan yang berkualitas baik di dunia ini maupun di akhirat.
Futuris Naisbitt didalam bukunya “Megatrend 2000” telah meramalkan bahwa di dalam abab ke-21 globalisasi akan bergulir dengan hebatnya, sehingga tidaklah akan terdapat lagi batas-batas nasional yang memisahkan negara-negara di dunia ini. Dia meramalkan bahwa dunia ini akan dapat diibaratkan sebagai sesuatu “borderless village” suatu desa yang besar tanpa dipisahkan oleh batas-batas. Negara-negara kebangsaan (Nation State) akan berubah menjadi borderless nation atau negara-negara tanpa batas, sebagai ditulis oleh pakar ekonomi dan hubungan internasional Jepang Kenichi Ohmoe di dalam bukunya “A Borderless World”.
Dewasa ini komunikasi demikian canggihnya sehingga hubungan antar benua tidaklah dapat dihindarkan dimana suatu peristiwa yang terjadi disuatu benoa pada saat yang bersamaan peristiwa yang terjadi itu sudah dapat disaksikan di benoa lain. “Insant communication” atau “distance communication” ini sudah berhasil mewujudkan suatu corak kehidupan baru di dunia ini yang menyebabkan timbulnya interaksi peradaban dan kebudayaan yang intensif antara penduduk-penduduk di seluruh mancanegara. Dunia terasa sempit. Jarak tidak lagi menjadi momok yang menghambat perjalanan manusia.
Pulau Bali yang kecil ini juga tidak bebas dari interaksi itu. Seperti telah diketahui didalam sejarah bahwa pulau Bali belum pernah menutup dirinya dari masuknya pengaruh-pengaruh luar. Didalam abad ke-7 pedagang-pedagang Cina sudah mengunjungi pulau Bali, sesudah itu tiba pemuka-pemuka agama Budha dan Hindu dari India yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar agama tersebut didalam masyarakat sehingga dapatlah menjelma trilogi atau tiga sendi masyarakat Bali yaitu agama, budaya dan tradisi yang sampai sekarang merupakan ciri khas dari masyarakat Bali itu. Tiga sendi tersebut merupakan pegangan yang mujarab dari masyarakat Bali sepanjang masa yang berhasil dilestarikan oleh penduduk Bali, sehingga masyarakat Bali sampai sekarang dapat mempertahankan jati dirinya yang unik itu dan menjadi sebab musabab pulau yang kecil ini terkenal dan dikagumi diseluruh manca negara.
Dengan munculnya globalisasi dengan interaksi kebudayaan yang sangat intensif antara penghuni dunia ini akibat dari pada canggihnya alat komunikasi elektronik dewasa ini maka timbullah suatu pertanyaan “apakah masyarakat Bali akan dapat meneruskan warisan nenek moyangnya untuk melestarikan ketiga sendi masyarakat itu terutama agama yang merupakan faktor dominan didalam trilogi tersebut?”
Dialam globalisasi dan komunikasi canggih ini Bali tidak dapat menutup dirinya atau merumuskan segala peraturan-peraturan untuk menolak atau menanggulangi masuknya pengaruh-pengaruh dari luar didalam masyarakat Bali. Memang hal demikian akan bertentangan dengan tradisi masyarakat Bali yang dianut sejak berabad-abad lamanya bahwa pulau Bali ini belum pernah ditutup dari masuknya pengaruh-pengaruh luar dalam segala ragam bentuknya, oleh karena masyarakat Bali sudah puas dengan apa yang dimiliki sebagai pegangan dan filsafat hidup sebagai tertuang dalam trilogi masyarakat Bali yaitu agama, budaya dan tradisi. Oleh karena agama adalah faktor yang dominan dalam trilogi masyrakat, maka timbullah suatu pertanyaan yang sangat mendasar “apakah masyarakat Bali memiliki kreativitas dan ketahanan untuk melestarikan dasar-dasar Hindu Dharma menghadapi era globalisasi ini yang getarannya terasa semakin deras dimasyarakat”.
Bila diperhatikan dengan saksama perkembangan pelaksanaan yadnya akhir dasa warsa ini memang sangat menggembirakan, sudah muncul suatu kegairahan nyata. Bila ada upacara agama di pura-pura ratusan bahkan ribuan penduduk wanita, pria, tua muda dalam pakaian tradisional Bali dengan baju dan destar putih, saput kuning dengan khidmat melaksanakan persembahyangan di pura-pura tersebut. Keadaan yang sangat menggembirakan itu merupakan suatu pertanda bahwa kesadaran umat nampaknya tetap hidup dan bergelora didalam hati sanubari para bhakta.
Seandainya dalam proses interaksi yang dahsyat ini masyarakat Bali ingin mampertahankan nilai-nilai hidupnya yang berdasarkan atas tiga sendi yang diwariskan sejak berabad-abad, maka sudah jelaslah penduduk Bali harus diberi pemahaman jang lebih mendalam lagi mengenai makna dari azas Hindu Dharma, kebudayaan dan tradisi Bali tersebut. Dewasa ini nampaknya mereka patuh terhadap syarat-syarat dari pada pelaksanaan agama itu untuk sehari-hari sebagai sembahyang di pura pura dan hadir pada upacara agama besar kecil, namun secara umum pengetahuan mereka mengenai filsafat dan dasar ajaran agama itu secara mendalam masih sangat kurang.
Disini timbul suatu pertanyaan bahkan suatu keragu-raguan, bagaimana mereka akan sanggup mempertahankan kelestarian agama Hindu itu terhadap pengaruh dari luar, bila mereka tidak memiliki kesadaran yang mendalam mengenai arti dan dasar dari agama itu sendiri. Disinilah letaknya suatu tantangan bagi umat Hindu.
Dalam kaidah keberagamaan, mudah didapatkan contoh-contoh yang konkrit. Kita lihat setiap upacara agama selalu meriah dan ramai. Kemeriahan acara, banyaknya tamu yang hadir dan banyaknya dana yang dipakai menjadi ukuran kelas sosial baru dan keberhasilan suatu upacara. Acara yang dilangsungkan ternyata tanpa mengusik tingkat pemahaman umatnya dalam hal arti dan makna ritual tersebut. Hari-hari persembahyangan selalu ramai dikunnjungi umat, tetapi praktek asusila dan korupsi berjalan terus. Bersembahyang untuk memohon pengampunan, demikian rumornya. Ritual agama jangan sampai dibiarkan tergiring menjadi festival. Hakekat agama adalah untuk pengejawantahan nilai-nilai spiritualitas agama umat, baik secara individual atau kepada umat secara umum dalam kehidupan sosialnya. Dengan spiritualitas agama itu, umat dapat semakin meningkat keluhuran moralnya dan semakin kuat daya tahan mentalnya dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.
Agama harus diterapkan untuk memperkokoh landasan moral dan mental masyarakat, bukan semata hanya ditinjau dari segi kemeriahannya saja atau besarnya dana, banyaknya umat yang datang .
Dewasa ini pengamalan ajaran agama sangat pincang dimana pengamalannya lebih menekankan pada upacara yadnya yang rajasik dan tamasik. Semuanya ini dapat menimbulkan dan menebalnya individualitas, disintegrasi sosial, dehumanisasi.

Kamis, 01 November 2007

"LULUT"...binatang apaan tuch???




"LULUT"..dari bentuk nya memang seperti ulat kecil dengan kepala bintik hitam..warnanya ada yang emas dan ada yang hitam. Menurut kepercayaan orang bali nich..LULUT berwarna keemasan akan membawa pengaruh baik bagi rumah yang di singgahinya..tapi jika warnanya kehitaman..akan membawa kesialan ato kejelekan..percaya tidak percaya belum ada penelitian yang pasti mengenai binatang sejenis ulat ini. Biasanya orang tua dibali memberikan air kelapa gading ato air kelapa muda untuk mengusirnya..percaya ato tidak dalam waktu beberapa jam LULUT itu hilang tanpa jejak.
LULUT itu membentuk rangakain seperti tali dan bergerombol satu sama lainnya..>>

Mengapa Harus Malu.......




Panggil saja "Lek Kincing", panggilan akrab dari Gusti Nyoman Sudana, yang berprofesi sebagai pedagang bakso keliling di daerah Pejeng Kelod, Gianyar - Bali, berbekal pelatihan yang diadakan oleh Koperasi Krama Bali (media Bali Pos group), Lek Kincing tidak canggung dalam berjualan bakso, banyak anggapan bahwasanya krama bali "gengsi" untuk berprofesi sebagai penjual bakso,."buat apa malu jualan bakso keliling,..yang penting, kan dapat uang dan halal", begitu tutur Lek Kincing, Memang menjadi pedagang bakso bukan pilihan, tetapi dari pada dapur tidak mengepul dan kesempatan ini kebanyakan dimanfaatkan oleh krama pendatang, maka tidak disia-siakan lah kesempatan itu oleh Lek Kincing, maka dari itu ..ayo krama bali yang pada masih mengganggur..janganlah berpangku tangan dan sebagai penonton, mari bersama-sama membangun kembali bali kita yang seperti dulu, jangan menjadi penonton di tempat kita sendiri, masih banyak sektor non formal yang memiliki peluang bagi krama bali diantaranya sebagai tukang potong rambut, dibidang makanan ringan, dagang mainan anak-2 dan masih banyak lagi, kalau kita ulet dan tekun, maka kita tidak akan kalah dengan orang "pendatang".